Prinsip Yatlunah: Kembali kepada Kaidah Aslinya

Al-Imam Ibnul Jazari رحمه الله berkata:

«إِنَّهُ لَا يَتَصَوَّرُ تَصْحِيحُ التِّلَاوَةِ، وَلَا تَجْوِيدُ الْأَدَاءِ، إِلَّا بِمَعْرِفَةِ الْمَخَارِجِ وَالصِّفَاتِ.»

“Sesungguhnya tidak mungkin seseorang dapat membaca Al-Qur’an dengan benar dan membaguskan bacaannya, kecuali dengan mengenal makhraj huruf dan sifat-sifatnya.” (An-Nasyr fi al-Qirā’āt al-‘Asyr, 1/210)

Yatlunah lahir dari kesadaran bahwa banyak kesalahan bacaan Al-Qur’an bukan disebabkan karena murid tidak hafal huruf, tetapi karena guru tidak mengajarkan huruf dari tempat keluarnya (makhraj).

Selama ini, banyak metode belajar Al-Qur’an berfokus pada kecepatan bisa membaca, bukan ketepatan dalam membaca.
Yatlunah mengembalikan arah pembelajaran kepada kaidah aslinya — sebagaimana diajarkan para ulama tajwid sejak generasi salaf:

“الْقِرَاءَةُ الصَّحِيحَةُ هِيَ الَّتِي تَكُونُ بِمَعْرِفَةِ الْمَخَارِجِ وَالصِّفَاتِ”
“Bacaan yang benar adalah bacaan yang disertai pemahaman makhraj dan sifat huruf.”

“Yatlunah”

Nama Yatlunah (يَتْلُونَهُ) diambil dari firman Allah:

﴿الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلَاوَتِهِ
“(Yaitu) orang-orang yang telah Kami berikan Kitab kepada mereka,
mereka membacanya dengan sebenar-benar bacaan.”

(QS. Al-Baqarah: 121)

Ayat ini menjadi jiwa dari seluruh metode Yatlunah.
Tujuannya bukan sekadar agar murid “bisa membaca Al-Qur’an,”
tetapi agar mereka “membaca sebagaimana mestinya,” yaitu dengan benar, tartil, dan penuh penghayatan.

“Kembali kepada Kaidah Aslinya”

1️⃣ Huruf Dikenal dari Sumber Suaranya

Yatlunah mengembalikan pengenalan huruf hijaiyyah kepada makhraj (tempat keluarnya huruf), bukan kepada bentuk tulisan.

  • Huruf ع diajarkan dari tenggorokan (halqiyyah).

  • Huruf ق dari pangkal lidah.

  • Huruf ب dari dua bibir.

Dengan demikian, anak tidak hanya tahu “ini huruf ‘ba’”, tetapi dari mana huruf itu keluar, sehingga bacaan menjadi alami dan tepat.

2️⃣ Benar Sebelum Lancar, Fasih Sebelum Cepat

Banyak metode mengutamakan kecepatan bisa membaca.
Yatlunah menegaskan bahwa:

“Ketepatan lebih utama daripada kecepatan.”

Karena bacaan yang cepat namun salah tidak bernilai sebagai tilawah yang benar, sedangkan bacaan yang benar walau perlahan, itulah yang disebut tartil.

Allah memerintahkan:

﴿وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلًا
“Dan bacalah Al-Qur’an dengan tartil.”
(QS. Al-Muzzammil: 4)

3️⃣ Belajar Bertahap Seperti Para Qurrā’

Yatlunah menempuh jalur tadaruj (bertahap), sebagaimana para qurrā’ terdahulu belajar:

  • Dari makhraj huruf → pengenalan sambungan huruf → hukum dasar → hukum lanjutan → kesempurnaan tartil.

  • Setiap jilid disusun berdasarkan urutan makharijul huruf menurut Imam Ibnul Jazari, bukan urutan huruf abjad modern.

Dengan begitu, santri dan guru berjalan bersama secara ilmiah dan terstruktur — tidak melompat-lompat.

4️⃣ Mengajarkan dengan Pendengaran, Bukan Hafalan Visual

Rasulullah ﷺ tidak mengajarkan Al-Qur’an lewat tulisan, tetapi dengan talaqqi — mendengar dan menirukan bacaan.
Yatlunah meniru sistem ini: murid mendengar, menirukan, dan menyesuaikan makhraj.
Tulisan hanya menjadi penguat, bukan sumber utama belajar.

📖 Pendengaran lebih dahulu daripada penglihatan dalam belajar Al-Qur’an.

5️⃣ Guru Sebagai Teladan Bacaan (Uswah Tilāwah)

Dalam Yatlunah, guru bukan hanya pengajar, tapi sumber suara pertama yang ditiru murid.
Maka filosofi Yatlunah menekankan: sebelum mengajar, guru harus memperbaiki bacaan sendiri agar suara yang keluar adalah suara yang benar.
Seorang guru tidak hanya “menyuruh membaca,” tetapi mencontohkan bacaan.

“Murid mengikuti lidah gurunya sebagaimana air mengikuti aliran wadahnya.”

Kata Ulama

Imam Asy-Syāṭhibī رحمه الله dalam Al-Muwāfaqāt menjelaskan bahwa tujuan diturunkannya Al-Qur’an adalah untuk dipahami dan ditadabburi, bukan sekadar dibaca.

Dari prinsip ini lahirlah ungkapan para ulama:


«وَكُلٌّ مُعَانٍ فِي الْقِرَاءَةِ يَقْتَضِي تَدَبُّرَهَا وَالنَّظَرَ الْمُتَدَبِّرَا»
“Setiap bacaan Al-Qur’an menuntut tadabbur dan pemahaman yang mendalam.”

Ungkapan ini mencerminkan semangat yang sama dengan prinsip Asy-Syāṭhibī — bahwa membaca Al-Qur’an tanpa tadabbur berarti belum menunaikan hak tilawah yang sempurna.

Kesimpulan

Yatlunah bukan hanya metode baca, tapi gerakan kembali kepada manhaj para ulama tajwid klasik.
Gerakan untuk mengembalikan pengajaran Al-Qur’an kepada makna “حق التلاوة” — membaca dengan sebenar-benar bacaan:
dengan makhraj yang tepat, sifat yang jelas, dan adab yang luhur.

“Yatlunah bukan sekadar membuat murid bisa membaca Al-Qur’an,
tapi menuntun mereka agar membaca sebagaimana Al-Qur’an seharusnya dibaca.”

Ingin memahami lebih dalam peran guru dalam metode Yatlunah?
Lanjutkan ke bagian berikutnya:
🔗[Peran & Kompetensi Guru→]

🔗[Panduan Yatlunah]